Selasa, 07 Juli 2009

Radiasi dan Zat Kimia Picu Leukemia Kronis

SEL DARAH PUTIH dalam jumlah normal berfungsi sebagai tentara tubuh untuk melawan penyakit. Pada leukemia,sumsum tulang menghasilkan sel darah putih yang sangat banyak sehingga mendesak sel sehat lain. Masyarakat mengenal leukemia sebagai kanker darah.

Leukemia memang merujuk pada suatu kelompok penyakit darah yang ditandai dengan keganasan alias kanker pada jaringan-jaringan yang memproduksi darah. Keganasan ini bisa bersumber dari sel darah putih, sel darah merah, keping darah (trombosit), ataupun myeloid (sel yang terdapat dalam sumsum tulang).Dengan kata lain, leukemia merupakan jenis kanker yang dapat memengaruhi sumsum tulang dan jaringan getah bening (limpa). Secara umum, leukemia dikelompokkan dua, yakni bentuk akut (pertumbuhan cepat) dan kronis (pertumbuhan lambat).

Menurut dokter spesialis Hematologi dan Onkologi Medis, Prof Dr dr Arry Harryanto Reksodiputro, leukemia akut yang tidak diobati dapat menyebabkan kematian dalam tempo sebulan, disebabkan infeksi atau perdarahan hebat.

Lebih menyedihkan lagi, leukemia akut banyak terjadi pada balita dan anak-anak. Sementara pada leukemia kronis, perkembangan penyakit berlangsung lambat dan umumnya tidak menyebabkan kerusakan pada sistem sel lainnya dalam tubuh.

"Itulah sebabnya, saat tes darah, pasien leukemia kronis mungkin saja menunjukkan hemoglobin dan trombosit yang normal," ungkap Arry saat peluncuran Novartis Oncology Access (NOA) di Jakarta belum lama ini.

Kendati tidak secara langsung atau cepat menyebabkan kematian, tanpa penanganan tepat pasien dengan leukemia kronis bisa sangat menurun kualitas hidupnya. Arry mencontohkan, leukemia kronis yang berasal dari granulosit (salah satu jenis sel darah putih) menyebabkan penderita rentan terkena serangan penyakit.

"Granulosit yang terdapat di bawah kulit dan mukosa berfungsi sebagai lini terdepan dalam melawan infeksi. Kalau granulosit ini tidak ada atau menjadi abnormal, seseorang tidak lagi memiliki perlindungan pada lini pertama," papar Ketua Bakornas Hematologi Onkologi Medis dan Penyakit Dalam Indonesia itu.

Salah satu jenis leukemia yang dapat mengakibatkan kematian dan membutuhkan perawatan intensif adalah leukemia myeloid kronis (chronic myeloid leukemia/CML). Penyakit ini mengenai 1-2 orang per 100.000 penduduk setiap tahun, dengan kisaran usia rata-rata 45-55. Terjadinya CML melibatkan proses hematopoiesis, yakni formasi elemen-elemen sel darah yang dibentuk di sumsum tulang.

"CML merupakan penyakit proliferatif, di mana terjadi pembelahan sel yang terus menerus secara progresif sehingga tak terkendali," tutur staf medis dari Novartis,dr Dini Arini.

Ketidaknormalan gen kromosom, yang dikenal sebagai kromosom Philadelphia,disinyalir sebagai penyebab utama kemunculan CML. Menurut Dini, paparan radiasi yang sangat tinggi atau zat kimia industri (semisal benzena dan formaldehida) juga menjadi faktor risiko yang patut diwaspadai.

Sekadar informasi, di Indonesia terdapat sekitar 250 pasien leukemia granulositik kronis (LGK) dan CML. Dari jumlah tersebut, hampir separuhnya berada di Jakarta, dengan tingkat polusi tinggi. Seseorang dinyatakan menderita CML apabila hasil pemeriksaan menunjukkan perbanyakan progresif sel darah putih, kromosom Philadelphia positif (Ph+), dan BCR-ABL positif (BCR-ABL+).

BCR-ABL merupakan sejenis protein aktif tyrosine kinase yang tidak normal. Pada pasien CML, protein inilah yang merangsang sel untuk terus membelah atau berproduksi sehingga berlebih. Itulah sebabnya, salah satu terapi bertarget (targeted therapy) ditujukan menghambat kinerja BCR-ABL.

Sayangnya, pemeriksaan BCRABL masih terbilang mahal, sekitar Rp750.000-Rp1 juta. Kendati kerap tak bergejala (asimtomatik), CML biasanya dicirikan dengan adanya pembesaran limpa.Hal ini juga didukung dengan hasil laboratorium yang menunjukkan data seperti peningkatan sel darah putih dan sel darah merah, kurang darah, dan basophilia (basofil meningkat).

Adapun beberapa gejala umum yang dirasakan pasien di antaranya lemah badan, kelelahan (fatigue), berat badan menurun, dan rasa penuh pada perut.

Hingga kini, pasien CML biasanya diberikan Imatinib, satusatunya terapi yang disetujui untuk digunakan pasien yang baru didiagnosis menderita Ph+ CML, dan berada dalam fase kronis setelah gagal menggunakan terapi interferon-alpha atau pada fase akselerasi atau krisis blast.

Berdasarkan hasil uji klinis IRIS (International Randomized Interferon versus ST1571) selama 60 bulan, Imatinib memiliki tingkat keberhasilan 83 persen setelah penanganan selama 60 bulan. Sayangnya, harga obat ini masih sangat mahal, sekitar Rp11,5 juta per boks (isi 60 tablet). Padahal, pasien harus mengonsumsi empat tablet per hari atau dua boks per bulan.

0 komentar:

Posting Komentar